Wednesday, July 14, 2010

X-Strain Eps. 1

Aku terbangun dengan peluh di sekujur tubuhku..
aakkhh! Kepalaku sakit sekali! Dimana aku?

Perempuan itu bangun sambil melihat sekelilingnya. Tampak bingung karena tidak tahu ada dimana dan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Matanya mengerjap berusaha mencari seseorang yang mungkin ada di ruangan serba putih itu. Tapi rupanya tidak ada seorangpun di sana. Tapi ia melihat beberapa benda dan peralatan aneh di sekitarnya. Mesin berlengan satu berwarna hitam dengan jarum di ujungnya yang tampak terabaikan di pojok ruangan, karena ada beberapa bagian yang patah tidak sempurna. Beberapa jarum suntik tergeletak di atas meja aluminium yang juga menampung beberapa sarung tangan karet dan benda-benda yang tampak seperti alat suntik berwarna-warni. Beberapa tabung-tabung kecil terserak dari tempat sampah yang sudah terguling, mesin-mesin kotak dan bundar yang tidak ia kenali fungsinya sama sekali. Semuanya tampak suram dan berdebu.


Matanya masih mengerjap-ngerjap. Ia baru menyadari bahwa dirinya hanya mengenakan baju rumah sakit berwarna putih dengan pita putih di tangannya bertuliskan Sonia-Emb71. Rambut merah panjangnya terjatuh ke depan saat ia meraba kaki, tangan, kepala, dan akhirnya seluruh tubuhnya; secara insting ia berusaha menyadari segala sesuatu yang terjadi pada dirinya. "Tidak ada apa-apa, semuanya tampak baik-baik saja', pikirnya. Ia berusaha mengingat kejadian terakhir yang dialaminya. Aneh? Tidak ada apapun terlintas di benak dan pikirannya. Mungkin ini karena ia baru saja terbangun dari tidurnya. Tak berapa lama, ia lalu menurunkan kakinya dari tempat tidur, dan aaakkhh!!! pening sekalii!!

Perempuan itu langsung jatuh terduduk di lantai berdebu itu. Ia memutar pandangannya di bawah tempat tidurnya, banyak sekali kertas berserakan di sana, selain itu ada juga beberapa monitor komputer di sana dalam posisi yang tidak karuan. Tak hanya kertas, pecahan kaca pun tampak bertebaran dimana-mana. Ia langsung mendongak ke atas dan melihat ada kaca pecah di ruangan yang rupanya berada tepat di atas ruangan yang ia tempati sekarang. Ada apa ini? Apa yang terjadi di sini? Mengapa ruangan ini seperti dikelilingi oleh jeruji besi? Banyak pertanyaan terletup di kepalanya. Namun ia tidak mendapati seorang pun untuk ditanyai. Ia bahkan tidak bisa mengingat namanya sendiri. Ia mulai berdiri, walaupun terhuyung-huyung, dan bergerak menuju sebuah pintu yang tampak muncul malu-malu di balik sebuah lemari besi yang entah berisi apa.

Tangannya maju mencoba menyingkirkan lemari besi itu.. Ugh! Berat sekali!
Dengan segala kekuatan yang masih ada, ia mendorong lemari itu ke samping. Tapi lemari besi itu tampak tidak bergerak sama sekali. Ia terus saja berusaha sekuat tenaga. Hampir saja menyerah, tiba-tiba ia memutuskan untuk mengganjal lemari besi itu dengan patahan besi yang tergeletak di dekatnya. Lalu ia mengganjal patahan besi itu dengan patahan mesin berlengan satu sehingga ia bisa mengungkitnya.. HHggghhh!!! Hgghhggaaaahhh!! Ia berusaha sekuat tenaga..

Brakkk!! Akhirnya pintu itu terlihat dengan utuh. Pintu itu berwarna putih dengan banyak lubang kunci. Selain itu, di pintu itu menempel sebuah kotak yang memiliki banyak tombol. Ia bingung sekali, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia merasa tidak memiliki kunci, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan tombol-tombol itu. Ia mulai takut, karena merasa terkurung dan tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu. Tapi rasa ingin tahunya tidak bisa menahannya untuk berdiam diri saja. Ia berusaha mencari benda yang mirip kunci. Ia membuka tumpukan buku di sana-sini, membuka patahan-patahan mesin, menyisir pojok-pojok ruangan. Awalnya ia mencari dengan hati-hati, tapi lama-lama ia mencari dengan sembarangan, terdesak frustasi yang menghinggapi dirinya. Entah sudah berapa lama ia mencari kunci-kunci itu. Ia lalu memutuskan untuk berhenti. Ia duduk terkulai bersandar pada dinding porselen putih, dan mulai menangis.

Brakk!! Brakk! dett!! dett!! dett!! Brakk!!

Perempuan itu sungguh kaget, ia tak mengira ada orang lain (atau sesuatu) di luar sana. Bunyi hentakan dan rentetan senjata semakin menjadi-jadi. INI SERANGAN!! Ia ketakutan, ia masih ingin hidup, ia mulai berpikir lebih baik tadi ia tidak mengungkit lemari besi agar pintu itu lebih sulit terbuka. Ia tertunduk menangis gemetaran.

Brak!! Dhuarr!! Brakk!! Brakkk!!!

Pintu itu terderak keras sekali, ia lantas bergerak bangkit sambil mencari benda berat yang bisa dipakai untuk menahan pintu itu. Ia melihat tempat tidurnya dan mendorongnya hingga ke pintu. Ia lalu membuat tumpukan dari barang-barang yang ada, monitor komputer, mesin berlengan satu, tumpukan buku, apapun, di atas tempat tidur itu. Terus saja menumpukkan barang-barang. Tapi ia tahu bahwa ini saja tak akan cukup untuk menahan serangan dari luar. Tubuhnya terus saja bergetar, getaran ketakutan yang merayap di balik punggung hingga ke kepala dan telinganya. Ingin rasanya ia menghentikan gemetarnya itu, tapi apa daya, itu sudah menjadi insting makhluk hidupnya. Ia lalu berusaha mencari senjata, apapun yang bisa jadi senjata. Ia mencari tergesa-gesa, tangisan dan getaran tubuhnya makin memperlambat usahanya saja. Sementara bunyi serangan makin menjadi-jadi. Ia frustasi dan takut hingga akhirnya ia menemukan pecahan kaca yang tajam dan besar. "Setidaknya ini bisa dijadikan senjata", pikirnya. Apa boleh buat, ia hanya bisa pasrah.

Pada saat ia sudah mulai memberanikan diri untuk menghadapi apapun di luar sana, serangan tiba-tiba berhenti. Berhenti? Ya, berhenti begitu saja. Tak menunggu lama, ia lalu dengan perlahan mendekat ke arah pintu. Ia meraba pintu itu sepelan mungkin, mencoba merasakan adanya getaran yang muncul. Tak ada apa-apa. Heran.

Tapi perasaan yang muncul kemudian adalah cemas, kemana gerangan si penyerang? Ia memusatkan perhatian pada pintu itu. Syarafnya menegang hingga ia merasakan sakit yang amat sangat pada bagian belakang leher dan pundaknya. Ia bersiap untuk kemunculan serangan pamungkas dari luar.
Tapi, lima belas menit.
Dua puluh lima menit.
Enam puluh menit.
Tak ada serangan lanjutan. Hening. Sungguh mengherankan.

Ia mulai berfikir, kalau si penyerang sudah membuang-buang banyak tenaganya demi untuk membuka pintu itu. Ia berfikir, kalau si penyerang merasa ruangan itu tidaklah sepenting yang ia kira. Adanya pikiran-pikiran itu, membuat syarafnya mengendur pelan-pelan. Ia ingin istirahat. Tubuh kecilnya sungguh letih. Pikirannya teramat berat. Ia hanya ingin istirahat. (bersambung)



No comments:

Post a Comment